2/07/2014

4.

"Tit"terdengar bunyi singkat yang cukup mungil disertai cahaya merah yang seketika menerangi ruang 3×2 sebelah kiri depan Rumah No 7 Magnolia Cluster, perumahan Adipati, Medan yang telah gelap gulita karena telah dipadamkannya lampu yg melekat di atap atasnya, waktu menunjukan pukul 22:40, waktu yang sudah cukup larut untuk memulai obrolan melalui benda kecil berlabel handphone ditengah kewajiban esok pagi untuk bangun dan bersiap sekolah.

Setelah tadi cukup lama bagiku bergulat dengan kerut di kening dan seringai di mulut menanti bunyi ini keluar dari persembunyiannya
Iya, sedari tadi aku sudah menunggu momen ini, momen dimana handphoneku berbunyi dengan disertai cahaya merah dari lampu kecil disudut handphoneku. Cahaya lampu merah itu menunjukan bahwa benar itulah dia yang aku tunggu, warna merah yang spesial aku atur hanya khusus untuk dia, dia yang entah sedari beberapa banyak jam tadi sedang apa, berbuat apa dan bersama siapa.

Kubuka 4 bbm sekaligus, tempat asal lampu merah yang tadi begitu menerangi kamarku, pesan hampir satu layar handphone memenuhi pandanganku,

Pesan pertama
"Maaf aku baru bisa balas bbm kamu, tadi ada banyak hal yang harus aku lakukan, sebelum maghrib aku harus mengantar mama ke tempat teman, kemudian tepat maghrib aku sudah harus berada di rumah, alhasil aku terburu-buru untuk segera pulang."

Pesan kedua
"Sampai di rumah ada hal yang harus aku kerjakan, mmmm tidak sedikit yang harus aku kerjakan, maaf ya."

Pesan ketiga
"Kamu sedang apa skrg?, sudah tidur ya? Maaf ya aku baru bisa membalas bbmmu semalam ini:("

Pesan keempat
"Yasudah kalau begitu, selamat malam, selamat tidur, mimpi indah, sayang, maaf ya."


Entah aku harus tersenyum atau menangis membaca 4 pesan tersebut, hampir 4×2 jam hilang, hanya memberi 4 pesan kabar dan hanya terdiri 4 kata maaf dan kesimpulan yang cukup empat(re: empet) untuk dibaca. Andai dia berpikir sudah 4× berapa kali dia melakukan hal ini, pertama menyapaku lewat bbm sehabis mengantarkanku pulang, dan kurang dari semenit aku membalas bbmnya, dia hilang, hilang seperti tengah berburu di hutan rimba dari pagi hingga petang, kemudian baru muncul kembali ketika kerut di keningku sudah mulai kaku, dan seringai di mulutku sudah mulai mengering.

Iya, entah sudah 4x berapa kali dia melakukan hal yang sama padaku. Aku kesal, kesal bukan main, bukan karena dia lebih mementingkan yang lain ketimbang diriku, tapi, aku kesal karena setiap dia seperti ini, otakku ini tak pernah berhenti memikirkan hal-hal mengerikan yang bisa saja terjadi padanya ketika dia hilang seperti ini, mungkin ia jatuh dari sepeda motor, tertabrak kendaraan ketika menyebrang jalan, terteka peluru nyasar di jalan raya atau mungkin ia tengah menyantap makan malamnya kemudian, satu potong ayam menyangkut di kerongkongannya, atau yang lebih mungkin... dia tengah asyik bercengkarama dengan seorang wanita bertubuh langsing nan pipinya tirus sambil tertawa manis bersama, yang terakhir ini merupakan bagian yang sebenarnya paling mengerikan.

Setiap membayangkan hal itu, seketia aku berusaha merangkai kata-kata ampuhku untuk kukirimkan kepadanya kalau-kalau pada akhirnya dia kemudian muncul pada tengah malam dengan 4 kata maafnya itu. Kata-kata yang merepresentasikan kerut di keningku yang sudah mulai kaku dan seringai di mulutku yang hampir mengering. Kata-kata ala perempuan-perempuan arus inti alisan mainstream yang sama mencekamnya dengan suasana perang dunia kedua yang biasa tertera dalam novel-novel teenlit bacaanku sekitar 3 tahun yang lalu. Kata-kata ampuh yang cukup sebanding seramnua dengan bayangan gilaku tadi yang kemudian dapat melipatgandakan 4 maaf nya menjadi mungkin 16, 64, 256 ataupun 1024.

"Iya, ngga papa sayang, aku tahu banyak hal yang kamu harus kerjakan, selamat tidur juga, sayang:)"

Bukan, bukan yang ini yang aku rangkai, tapi ini yang terlanjur kukirim.


Emp(a)/(e)t.